Btw, ini tugas cerpen waktu SMA, diambil dari kisah temen sendiri.
MENENGAHI JARAK
Institut Teknologi Bandung.
Disana, dia bersama
kesibukkannya. Bersama buku-buku tebalnya. Memadatkan senggang waktu seolah
hanya bersama angka dan intuisinya. Dia yang kerap memberiku tawa. Menghadirkan
kisah bahagia. Namun, tak jarang dia memaksaku menghadirkan tanya. Merisaukan
jarak Kuningan – Bandung yang kian memperumit semua pertanyaanku. Ingin kutanyakan
kepadanya tentang semua. Ingin kuutarakan isi benakku tentang semua. Bagaimana
aku dengan dia yang kini bersama jarak menemani kisah kita. Bagaimana aku paham
dengan kesibukannya. Kesibukah seorang mahasiswa. Kesibukan seorang Ken.
***
18 Mei lalu mengawali sebuah
kegelisahan.
“Ulang Tahun Ken!” Bisikku dalam
hati.
Nada pengingat dari pikiranku terpudarkan oleh
dering suara Bruno Mars dari handphone disampingku.
“Halo?”
“Iya kenapa?” Jawabku pelan..
“Na, aku seneng banget hari
ini, kamu tahu kenapa?”Jelas kudengar ekspresi girang dari suara yang begitu
aku kenal.
“Iya aku tahu, hari ini kan
ulang tahun kamu. Wah Happy Birthday ya.”
“Bukan,bukan karena itu, tapi
ada hal yang lebih membuatku senang. Aku diterima di ITB.Ya ampun aku seneng
banget!” Ken kembali meluapkan kegembiraannya.
Mendengar hal itu entah kenapa
perasaanku menjadi tak karuan. Senang
dan bangga menyatu pula dengan kesedihan. Sedih, ketika sebuah keputusan akan
memastikan sebuah hubungan yang terpaut oleh sebuah jarak. Mencoba menghapus semua
pikiran buruk yang menyinggahi benakku selama ini.
“Long Distance Relationship.
Pacaran jarak jauh.”
Pertanyaan-pertanyaan konyol
kian bermunculan. Semua tentang kesetiaannya, kesibukkannya, bahkan lingkungannya.
Mungkinkah ITB akan menjauhkanku dengannya, membuatnya lupa denganku, atau
bahkan memberinya kesempatan melihat seorang yang mungkin lebih dariku. Terasa
begitu aneh mengingat tiga tahun lebih aku dengannya tak pernah terpisahkan
jarak maupun waktu.
“Na aku pergi dulu ya, kamu
tenang aja aku pasti akan sering menghubungimu. Kamu baik-baik ya di Kuningan.”
Ia berusaha meyakinkanku.
“Janji ?” Tanyaku konyol.
Terlihat Ken sedikit geli
dengan jawabanku barusan.
“Iya iya. Janji.” Sambil tersenyum
geli, ia pergi dengan melambaikan tangannya dari celah jendela mobil. Mungkin
ini bak sebuah adegan sinetron, tapi memang begitu adanya.
***
Hari-hari berikutnya berjalan
seperti biasanya. Meskipun adakalanya kegalauan itu benar-benar ada. Beruntung,
aku disibukkan oleh setumpukan tugas sekolah sehingga aku masih mampu sejenak
menghela nafas tenang dan menjauhi kegelisahanku tentangnya. Tak terasa satu bulan
telah berlalu tanpa ada sesuatu yang berarti, tanpa ada sms ataupun telepon
darinya.
Aku langsung menyambar HP ku,
mencoba menghubunginya untuk sekedar menanyakan kabar.
Satu sms.
Dua sms.
Tiga sms. Tak ada satupun sms
yang ia balas.
Tujuh jam berlalu, akhirnya
dia membalas.
“Maaf, aku lagi sibuk.”
Pesan singkat yang telah
begitu lama kutunggu ini sungguh memuakkan. Berkali-kali aku mencoba
menghubungi. Setiap hari aku meminta kabar. Aku
geram. Hanya kesibukkan yang dia jadikan alasan.
Dua bulan berlalu, menambah
setiap keresahan. Kembali kucoba menghapus pikiran-pikiran buruk tentangnya. Meyakinkan
diriku bahwa dia baik-baik saja. Kini, aku berharap dia akan hadir pada hari
ulang tahunku walau sehari saja.
Harapan itu nyatanya begitu
maya, sungguh jauh dari fakta. Bahkan sehari pun dia tak rela membagi waktunya
denganku. Sehari, hanya pada hari ulang tahunku yang ke-17 saja dia tidak bisa.
Aku tersadar. Pacaran jarak jauh itu membosankan. Namun sebisa mungkin aku
sabar.
Sampai pada akhirnya lenyaplah
kesabaran ini. Kulihat jelas di dinding akun facebook-nya, dia tengah
asik bertegur sapa dengan perempuan yang sama sekali tak kukenali. Inikah kesibukkan
yang dia maksud.
Emosi ini tak bisa kutahan
lagi. Percuma aku memendamnya. Aku kecewa. Meskipun kini ia berkali-kali menelponku.
Menyatakan maaf. Aku enggan menghiraukan.
“Halo?”
“Na maafkan aku. Aku bisa menjelaskan
semuanya, kamu jangan salah paham dulu. Sebenarnya begini…” Belum selesai Ken
menjelaskan, aku segera memotong pembicaraan.
“Sudahlah selama ini aku mencoba
sabar, kita putus saja.”
Kumatikan ponselku. Kini aku
terisak, mengusap pipiku yang kian basah. Meratapi setiap jawaban dari semua
pertanyaan konyolku selama ini. Memutuskan sebuah jalinan kasih yang
bertahun-tahun aku jalani.
Entah mengapa kabar aku putus
dengan Ken mudah sekali menyebar. Hingga akhirnya sampai ke telinga orang tua
kami. Sempat aku tak percaya. Mama Ken menjelaskan semua kesalah pahamanku
selama ini. Ken memang sangat dekat dengan mamanya. Wajar mungkin jika dia
bercerita tentang kekandasan hubungan kita berdua. Mama Ken menjelaskan bahwa
putra sulungnya itu hanya berbincang dengan perempuan yang tak lain adalah
sepupu Ken sendiri.
Segera kuhapus air mataku
ketika seseorang membuka pintu kamarku yang tak kututup rapat.
“Sayang, kenapa menangis ? Karena
Ken lagi ya?” Tanya mama menghampiriku.
“Aku baik-baik saja Ma, jangan
khawatir.”
“Sudahlah jangan di pikirkan,
yang terpenting sekarang kamu harus fokus belajar. Ingatlah kalau sekarang kamu
sudah kelas dua belas.”
“Iya, makasih ya mah.” Jawabku
bersama sebuah pelukan seorang mama yang kini mulai membuatku tenang.
***
Tepat satu bulan setelah aku
putus dengan Ken. Seperti biasanya, setiap hari minggu tiba aku hanya memaku
diri di dalam kamar. Tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu yang
berada di ujung kamarku. Saat kubuka, nampak sosok tinggi dan berkacamata yang
mengingatkanku pada seseorang.
“Mungkin aku mimpi.” Kataku pelan.
“Kamu tidak mimpi.”
Kutatap sebuah senyuman yang
kurindukan.
“Ken!”
“Maaf ya kadonya sedikit telat
satu bulan. Selamat ulang tahun Keysa.”
Aku mulai tak kuasa membendung
air mata. Menghadapi seorang yang masih aku sayang.
“Na, dengarlah! Tiga tahun itu
lama untukku, aku tidak mungkin bisa melupakan kamu. Kemarin kamu hanya salah
paham. Maafkan aku, sekarang akan kujelaskan semuanya.”Jelasnya serius dengan
sorot mata yang tegas.
“Aku sudah tahu, mama kamu sudah
cerita tentang semuanya. Huu.. Dasar anak mami !”
“Mama aku ? Kapan ?”
“Sudah jangan banyak tanya,
yang penting sekarang aku sudah tahu semuanya kan.”
“Jadi ?”
“Jadi apa?”
Ia mengelurkan kotak kecil
berisi kalung putih yang sangat indah.
“Kamu mau jadi pacarku lagi?”
“Lagi ?”
“Iya Keysa.”
“Tapi…”
“Tapi apa?”
“Tapi ngomong-ngomong itu untuk
siapa?”
Aku mengarahkan telunjukku pada
kalung di tangannya.
“Dasar ya cewek matre. Kok malah
melihat kalung, jadi mau apa tidak nih ?”
“Bagaimana ya ...?” Aku pura-pura
berpikir.
“Ayolah!” Ken kini mulai
memelas.
“Iya, aku mau.”
No comments:
Post a Comment